4
Sebulan sudah aku kembali menjalani rutinitasku menjadi mahasiswa biasa di FKIP UNS, entah kenapa suasana rindu akan sapaan murid dan hiruk pikuk sekolah yang hanya 3 bulan lamanya menjadi tempat magang (Program Pendidikan Lapangan/PPL) menggeliat. Rutinitas seperti alarm dan mandi dipagi hari yang awalnya aku benci, berdandan rapi dan wangi setiap hari dan persiapan materi di malam hari menjadi hal yang teramat ku rindukan. Rindu yang sebenarnya bukan rindu, karena jika aku disuruh mengulangi ketiga hal tersebut dalam rutinitasku sekarang ini akupun juga tak akan mau. Barulah aku tersadar ternyata bukan itu yang ku rindu, aku hanya rindu menjadi seorang pendidik. Dimana rindu ku itu mampu mengalahkan benci ku terhadap alarm dan mandi di pagi hari, mampu menghilangkan rasa tak nyaman ku dalam keadaan selalu rapih dan wangi.

Banyak sekali hal yang didapat dalam waktu 3 bulan tersebut. Baru aku tau bahwa ternyata metode dan model yang dibuat oleh barat dan diajarkan di kampus kampus sangat tidak relevan jika dibenturkan dengan realitas anak didik di Indonesia, hal ini mungkin bisa disebut sebagai generalisasi tapi sekolah yang berakreditasi A dan berlabel SSN yang aku tempati selama sebulan dirasa cukup mewakili realitas rata rata anak didik di Indonesia. Bahwa diskusi kelompok kecil tidak semudah seperti yang dikatakan vygostki, jigsaw dan yang lainnya dalam cooporative learning , di Indonesia di sekolah yang berakreditasi A dan berlabel SSN dominasi siswa masih sangat terasa, apalagi kelompok dibikin semajemuk mungkin, dan diskusi tidak akan efektif dikala kelompok tidak majemuk / terjadi hal yang sangat njomplang dari formulasi kelompok satu dan formulasi kelompok lain.

Kesadaran untuk bersama bekerja masih belum muncul, yang ada adalah kesadaran untuk mendominasi dan rendah diri / takut mengungkapkan pendapat karena dia bersama teman satu kelompok yang lebih pinter atau lebih dominan daripadanya, alhasil yang dominan lah yang berfikir yang lain menulis dan yang lain lagi ngobrol. Bahkan dengan penerapan model pembelajaran seperti ini akan menimbulkan skat skat dan klas klas baru di dalam kelas. Menurutku masih butuh waktu yang lama untuk menyadarkan para siswa bahwa diskusi kelompok bukanlah kerja individu yang diatasnamakan kelompok, namun gagasan tiap individu dirumuskan menjadi satu menjadi gagasan kelompok.

Baru aku tau pula ternyata achievmen/reward yang dijanjikan oleh slavin dan teman temannya akan menaikkan motivasi belajar siswa malah menggiring siswa kita menjadi kaum kaum yang matre (dalam definisi umum). Slavin bilang bahwa siswa akan naik motivasi belajarnya jika ada achievment atau reward, dan yang terjadi disekolah yang berakreditasi A dan berlabel SSN adalah ketika aku coba pakai reward, memang benar hampir semua siswa yang awalnya tidak berantusias menjadi antusias mereka yang biasanya ramai menjadi memperhatikan, namun dihari selanjutnya ketika tidak ada reward maka antusias itu akan hilang keaktifan itu akan hilang, bahkan siswa yang biasanya aktif dengan ikhlas tanpa reward pun menjadi mengharapkan reward.

Justru teori diatas malah merusak menurutku, bagaimana tidak antusiasme yang timbul ternyata hanya semu keaktifan yang timbul ternyata hanya semu, mereka tidak benar benar mau antusias belajar mereka tidak benar benar mau aktif tapi mereka hanya mau reward, dan berantusias serta aktif adalah jalan untuk mendapatkan reward tersebut. Memang benar nilai mereka bertambah, memang benar keaktifan mereka bertambah tapi satu hal yang fatal adalah tujuan belajar mereka berubah, bukan lagi agar faham dan cerdas tapi hanya sebatas ingin reward, dan aku rasa hal ini akan berefek panjang.

Baru aku tau ternyata “pendidikan karakter” yang selama ini digadang gadang oleh pemerintah adalah pendidikan karakter krupuk, karakter penakut, karakter sombong. Pernah satu hari aku mencoba menggoda siswa siswiku dengan berpura pura mengadakan ujian dadakan, apa reaksi mereka? Penolakan besar besaran, kenapa tidak diberitahu dan lain sebagainya. Mereka gelisah kalau mereka mendapat nilai jelek, mereka merasa hina ketika mereka terlihat bodoh dan mereka takut kalau mereka tidak bisa seperti biasanya tersenyum melihat nilai bagusnya. Dan mereka akan sangat senang ketika UAS atau UTS datang dan mereka memegang kisi kisi, karena ada jaminan materi yang keluar artinya ada jaminan pula nilai bagus, ada jaminan pula mereka akan tersenyum ria ketika melihat hasil pekerjaan mereka. Lalu apa yang jadi masalah? Yang jadi masalah adalah orientasi belajar mereka hanya sebuah nilai, tak beda dengan reward tadi bukan proses.

Akan sangat wajar seseorang mendapat nilai bagus ketika ujian dan sudah diberitahu oleh gurunya apalagi mendapat kisi kisi, namun apakah itu dapat menjadi indikator bahwa pembelajaran berhasil? Sama sekali tidak, bisa saja mereka pulang lalu belajar semalaman kepada kakak nya kepada guru les nya atau kepada siapa saja, mereka belajar lebih dari apa yang di dapat disekolah. Dan nilai bagus adalah menjadi hal yang wajar karena mereka mempersiapkan nya lebih dari sekedar pembelajaran oleh guru. Jadi akan menjadi sebuah hal yang sangat tidak fair ketika hal itu dijadikan patokan keberhasilan seorang guru. Dengan ujian dadakan siswa hanya akan mengingat ingat apa yang di sampaikan oleh guru, karena tidak ada persiapan “spesial” lebih selain materi yang diberikan oleh guru. Dalam pengecualian kalau memang siswa itu adalah siswa yang rajin belajar tanpa perduli ujian atau tidak, Nah! karakter yang seperti inilah yang menurutku seharusnya ada pada anak didik di Indonesia, bukan mental tempe bukan mental sistem kebut.

Baru aku tau ternyata sekat sekat dinding kelas itu membatasi kebahagiaan mereka, membatasi ruang gerak mereka, membatasi kerjasama mereka. Pernah sesekali aku ajak mereka keluar kelas untuk belajar materi himpunan (aku guru matematika). Tanpa reward tanpa metode yang pernah aku dapat di kampus antusias mereka dalam belajar dan melakukan apa yang guru arahkan bertambah sangat drastis, dengan tugas yang banyak dan mudah mereka dipaksa membagi bagi tugas dan mempercayakan sebuah misi kepada teman satu kelompok mereka, dengan begini ternyata kelas dan skat pemisah serta dominasi antara teman satu kelompok akan terkikis, dengan menaruh mereka menjadi subjek subjek yang aktif dan memiliki peran ternyata membuat antusias dan semangat menjalankan misi pun bertambah. Serta rasa ingin lebih dari kelompok lain membuat kerjasama kelompok dan usaha untuk menjalankan misi kelompok lebih maksimal. Al hasil nilai dan keaktifan mereka bertambah sangat drastis, namun sayang nya tidak semua materi bisa didesain dengan model misi seperti ini, guru haruslah kreatif menempatkan siswa sebagai subjek aktif agar siswa mampu aktif dan ber antusias tak perduli reward tak perduli teman lain yang lebih.

Betapa menyenangkannya menjadi seorang pendidik, pendidik adalah seseorang yang bukan hanya menyampaikan materi ajar tapi juga mampu menularkan nilai nilai, mampu memahami siswa didik nya, mampu menyadarkan siswa kita bahwa mereka adalah subjek dari pembelajaran maupun realitas yang ada, bahwa mereka memiliki peran di lingkungan, bahwa dominasi tidak lebih berharga dari kerjasama dan saling membantu, bahwa mereka adalah khalifatu fil ardh dan bahwa mereka adalah generasi generasi yang ditunggu kedatangannya. Bukan hanya sekedar seperti robot yang masuk dan keluar kelas sesuai bel, namun menjadikan waktu dari bel ke bel itu menjadi waktu yang bermakna bagi diri kita dan bagi siswa kita. Aku bukanlah pendidik yang baik, dan baru aku tau ternyata menjadi pendidik yang baik adalah yang aku rindu dan yang aku inginkan.


Post a Comment

  1. Kesadaran untuk bersama bekerja masih belum muncul, yang ada adalah kesadaran untuk mendominasi dan rendah diri / takut mengungkapkan pendapat karena dia bersama teman satu kelompok yang lebih pinter atau lebih dominan daripadanya << setuju banget sama itu. banyak pasti yang kayak gitu, bukan cuman satu dua orang

    ReplyDelete
    Replies
    1. yoi broo
      ini yang kadi penyakit
      jadi kaya hukum rimba
      si dominan dan si minder
      miris liatnya

      Delete
  2. Sistem pendidikan juga mempengaruhi gan . Gue malah suka gaya belajar eropa yang PBL (Problem Based Learning) , mahasiswa gak bakalan kayak robot !!

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah kebanyakan guru atau dosen belom bisa nedain apa itu problem apa itu question
      jadi yang diprakterkin malah question based learning
      hehehehe

      Delete

 
Top