1

Peranan guru di berbagai jenjang pendidikan telah menjadi kebijakan pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru. Peningkatan profesionalisme guru secara terus menerus memang merupakan prasyarat penting bagi proses pemerataan dan penegakan kualitas pendidikan nasional yang selalu bersifat dinamik. Selama ini, pengambilan kebijakan berasumsi bahwa pola peningkatan profesionalisme guru melalui berbagai bentuk penataran memiliki nurtutant effect yang positiv bagi praksis pendidikan, baik secara mikro maupun makro. Itulah sebabnya di berbagai provinsi didirikan lembaga-lembaga permanen yang mengalami berbagai bentuk penataran sebagai PPPG, PKG, BPG, dsb.
Program Penataran Guru sebenarnya sudah saatnya dikaji apakah memiliki dampak yang positiv bagi praksis pendidikan nasional dan juga bagi peningkatan profesionalisme guru dala skala mikro. Selama ini banyak pihak seolah-olah telah mempercayai kehebatan black box penataran-penataran yang didesain untuk para guru, padahal program penataran tidak selamanya dapat meningkatkan profesionalisme guru. Dalam makalah ini, akan dikaji berbagai kelemahan penataran dan juga akan disajikan bentuk alternativ bagi proses peningkatan profesionalisme guru di luar bentuk penataran


v  Collaborative
Peningkatan profesionalisme guru masa depan perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat kolaboratif. Jika model penataran yang bersifat top down masih dipertahankan, profesional guru kita secara nasional hanya akan “berjalan di tempat”. Bahkan penataran yang berjalan berhari-hari akan mengganggu proses pembelajaran di sekolah. Guru –guru yang baik justru tidak sempat mengajar secara intensif. Mereka justru kehilangan jam mengajar karena harus mengikuti penataran.
Alternatif yang baik bagi penataran guru untuk masa depan ialah collaborative action research (CAR). Jenis penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru secara langsung sesuai dengan konteks kultural sekolah dimana guru mengajar. Hal ini dapat terjadi karena dalam CAR, guru diajak merumuskan masalah yang dihadapi secara bersama, lalu diajak mencoba merumuskan dan melakukan langkah-langkah solusinya, kemudian diajak melakukan refleksi terhadap solusi yang disepakati, dan akhirnya diajak melakukan pengembangan proses pembelajaran sesuai dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama pihak kedua.
Model CAR sebagai alternatif penataran guru memiliki legitimasi yang kuat, baik dilihat dari aspek akademik maupun setting kultural sekolah. Model CAR ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru secara lebih bermakna. Bahkan Jack Whitehead (1990), Jean Me Niff (1993), dan Sharon Nodie Oja (1989) meyakini model CAR dapat meberikan jembatan yang efektif misi penting yang sulit dinilai secara ekonomis, yaitu misi kemanusiaan.
Anak-anak didik yang lamban tidak dapat kita keluarkan begitu saja dari sistem sekolah dengan alasan pemborosan sumber daya pendidikan. Anak-anak lemah mental juga tidak dapat kita buang dari sistem pendidikan kita karena alasan in-efisiensi. Pendek kata, pendidikan harus melayani semua anak bangsa ini secara “egaliter” tanpa pilih kasih.
Telah banyak pembaharuan pendidikan dilakukan di Indonesia. Tujuan pembaharuan itu akhirnya ialah untuk menjaga agar produk pendidikan kita relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang pendidikan berikutnya. Pembaharuan dalam bidang pengajaran juga telah kita lakukan. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif, yang kemudian dikenal dengan CBSA, telah diperkenalkan selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini.
Untuk mendorong guru agar meningkatkan kemampuan profesi tanpa mengenal jenjang mana ia mengajar, pemerintah telah melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan yang kemudian diberi label fungsionalisasi jabatan guru. Untuk menjaga relevansi dan efisiensi, bimbingan karir di sekolah-sekolah kejuruan juga harus diprogramkan. Begitu pula program-program institusi pasangan, magang dan pengembangan unit produksi telah menjadi agenda penting bagi pembaharuan pendidikan nasional.
Dari program pembaharuan itu semua, siapa sebenarnya yang memegang kunci keberhasilan pembaharuan? Untuk menjawab semua ini, sebenarnya kita perlu kembali pada kenyataan bahwa sebagian besar kegiatan pendidikan adalah berupanproses belajar mengajar. Dalam proses tersebut, guru memiliki peranan yang sangat penting.
Semua pembaharuan pendidikan yang menyangkut proses pengajaran harus mempertimbangkan guru dalam arti keikutsertaannya. Pembaharuan yang dirumuskan hanya di tingkat menteri, Dirjen dan Direktur tanpa melihat realitas kemampuan guru, akan mengalami hambatan dalam implementasinya. Michael G. Fullan (1991) dalam bukunya The Neto Meaningof Educational Change berpendapat : educational change depends on what teacher and think-it, as simple and as complex as that. Keikutsertaan guru ini bukan berarti hanya dalam konteks fisik atau kualitas. Namun yang lebih penting ialah keikutsertaan secara mental yang didukung dengan kemampuan profesional. Oleh karena itu, guru perlu memiliki semacam a common mission (Louise Stall dan Dean Fank, 1992) pada setiap proses pembaharuan pendidikan.
Menurut mereka, agar pembaharuan pendidikan menjadi efektif, guru perlu menyadari adanya misi umum yang ingin dicaai oleh pembaharuan itu. Indikator terhadap adanya kesadaran pada common mission suatu pembaharuan menurut Louise Stall dan Dean Fank ialah :
1.      Shared value and beliefs
2.      Clear goals
3.      Instruksional leadership
Persoalan melupakan peran guru inilah yangsering terjadi pada sistem pembaharuan  sistem pendidikan nasional kita. Para perencana sering berasumsi bahwa sekali program pembaharuan diploklamirkan, yang disertai daya paksa dengan Surat Keputusan (SK), pembaharuan itu akan berjalan dengan sukses besar. Mereka lupa bahwa guru kita memiliki beban pembaharuan yang amat besar dengan disertai oleh kesejahteraan yang amat minim ditengah-tengah pola kehidupan yang semakin materialis dan konsumtif.
Karena beban pekerjaan guru semakin berat, sebagai akibat adanya pembaharuan yang bertubi-tubi, maka secara fungsional mereka tidak dapat berpartisipasi dengan maksimal. Akhirnya, pembaharuan yang dimitoskan dapat mendongkrak kualitas pendidikan seperti CBSA, Pusat Kegiatan Guru (PKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Sanggar Kerja Guru, Unit Produksi, Bimbingan Karier, Institusi Pasangan, Program Magang, berbagai kegiatan penataran, dsb, tidak semuanya berjalan mulus sesuai dengan cita-cita semula.
Mengajak guru untuk melakukan pembaharuan tidak semudah yang dipikirkan oleh para pengambil kebijakan pendidikan. Guru juga manusia dengan berbagai keterbatasannya. Apalagi dalam jumlah yang begitu besar, tidak kurang dari 2,5 juta orang guru. Kita dapat membayangkan betapa sulitnya mereka untuk dapat diajak melakukan pembaharuan dan perubahan dalam pendidikan. Lebih-lebih dalam setiap pembaharuan dan perubahan itu akan selalu menampilkan pekerjaan mereka.
Itulah sebabnya, kita patut memperhatikan pendapat Carlos (1965) dalam hal melakukan difusi inovasi terhadap para guru kita. Jika kita mengaplikasikan teori Carlos dalam proses pembaharuan pendidikan nasional, sejak awal kita akan memprediksi siapakan guru sulit atau tidak diajak untuk melakukan pembaharuan. Karena menurutnya, sebelum seorang guru mengadopsi sebuah pembaharuan, ia akan melihat karakteristik.
Dalam bidang CBSA, masih ada 30% guru yang belum melakukannya secara profesional. Guru yang melakukan peningkatan karir profesi sesuai dengan SK Men Pan No. 026 tentang fungsionalisasi jabatan guru baru 5%. Guru yang melaksanakan bimbingan karir di sekolah baru 40%. Dari 40% itu, mereka yang melakukan secara konsisten tidak lebih dari 5% dan masih terdapat 50% guru sekolah kejuruan yang belum melaksanakan program institusi pasangan.
Jika dilihat dari jenis sekolahnya, guru STM yang belum melakukan institusi pasangan masih sebanyak 30%. Adapun guru SMEA sebanyak 75%, dan guru SMKK sebanyak 42%. Begitu pula pelaksanaan program magang masih tersedat-sedat dan 75% guru STM belum melaksanakan magang di dunia industri. Melihat bukti empirik di atas, sekali lagi amat penting kiranya untuk selalu mempertimbangkan faktor guru dari berbagai aspek kehidupannya dalam melakukan pembaharuan pendidikan nasional. Guru merupakan kelompok terbesar yang akan ikut menentukan berhasil tidaknya berbagai bentuk pembaharuan pendidikan kita.

Post a Comment

 
Top