Peranan
guru di berbagai jenjang pendidikan telah menjadi kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan profesionalisme guru. Peningkatan profesionalisme guru secara
terus menerus memang merupakan prasyarat penting bagi proses pemerataan dan
penegakan kualitas pendidikan nasional yang selalu bersifat dinamik. Selama
ini, pengambilan kebijakan berasumsi bahwa pola peningkatan profesionalisme
guru melalui berbagai bentuk penataran memiliki nurtutant effect yang
positiv bagi praksis pendidikan, baik secara mikro maupun makro. Itulah
sebabnya di berbagai provinsi didirikan lembaga-lembaga permanen yang mengalami
berbagai bentuk penataran sebagai PPPG, PKG, BPG, dsb.
Program
Penataran Guru sebenarnya sudah saatnya dikaji apakah memiliki dampak yang
positiv bagi praksis pendidikan nasional dan juga bagi peningkatan
profesionalisme guru dala skala mikro. Selama ini banyak pihak seolah-olah
telah mempercayai kehebatan black box penataran-penataran yang didesain
untuk para guru, padahal program penataran tidak selamanya dapat meningkatkan
profesionalisme guru. Dalam makalah ini, akan dikaji berbagai kelemahan
penataran dan juga akan disajikan bentuk alternativ bagi proses peningkatan
profesionalisme guru di luar bentuk penataran
v Collaborative
Peningkatan
profesionalisme guru masa depan perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat
kolaboratif. Jika model penataran yang bersifat top down masih
dipertahankan, profesional guru kita secara nasional hanya akan “berjalan di
tempat”. Bahkan penataran yang berjalan berhari-hari akan mengganggu proses
pembelajaran di sekolah. Guru –guru yang baik justru tidak sempat mengajar
secara intensif. Mereka justru kehilangan jam mengajar karena harus mengikuti
penataran.
Alternatif
yang baik bagi penataran guru untuk masa depan ialah collaborative action
research (CAR). Jenis penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan
profesionalisme guru secara langsung sesuai dengan konteks kultural sekolah
dimana guru mengajar. Hal ini dapat terjadi karena dalam CAR, guru diajak
merumuskan masalah yang dihadapi secara bersama, lalu diajak mencoba merumuskan
dan melakukan langkah-langkah solusinya, kemudian diajak melakukan refleksi
terhadap solusi yang disepakati, dan akhirnya diajak melakukan pengembangan
proses pembelajaran sesuai dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama pihak
kedua.
Model
CAR sebagai alternatif penataran guru memiliki legitimasi yang kuat, baik
dilihat dari aspek akademik maupun setting kultural sekolah. Model CAR ini
dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru secara lebih bermakna.
Bahkan Jack Whitehead (1990), Jean Me Niff (1993), dan Sharon Nodie Oja (1989)
meyakini model CAR dapat meberikan jembatan yang efektif misi penting yang
sulit dinilai secara ekonomis, yaitu misi kemanusiaan.
Anak-anak
didik yang lamban tidak dapat kita keluarkan begitu saja dari sistem sekolah
dengan alasan pemborosan sumber daya pendidikan. Anak-anak lemah mental juga
tidak dapat kita buang dari sistem pendidikan kita karena alasan in-efisiensi.
Pendek kata, pendidikan harus melayani semua anak bangsa ini secara “egaliter”
tanpa pilih kasih.
Telah
banyak pembaharuan pendidikan dilakukan di Indonesia. Tujuan pembaharuan itu
akhirnya ialah untuk menjaga agar produk pendidikan kita relevan dengan
kebutuhan dunia kerja atau persyaratan bagi pendidikan lanjut pada jenjang
pendidikan berikutnya. Pembaharuan dalam bidang pengajaran juga telah kita
lakukan. Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif, yang kemudian dikenal dengan
CBSA, telah diperkenalkan selama kurang lebih 10 tahun terakhir ini.
Untuk
mendorong guru agar meningkatkan kemampuan profesi tanpa mengenal jenjang mana
ia mengajar, pemerintah telah melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan
yang kemudian diberi label fungsionalisasi jabatan guru. Untuk menjaga
relevansi dan efisiensi, bimbingan karir di sekolah-sekolah kejuruan juga harus
diprogramkan. Begitu pula program-program institusi pasangan, magang dan
pengembangan unit produksi telah menjadi agenda penting bagi pembaharuan
pendidikan nasional.
Dari
program pembaharuan itu semua, siapa sebenarnya yang memegang kunci
keberhasilan pembaharuan? Untuk menjawab semua ini, sebenarnya kita perlu
kembali pada kenyataan bahwa sebagian besar kegiatan pendidikan adalah
berupanproses belajar mengajar. Dalam proses tersebut, guru memiliki peranan
yang sangat penting.
Semua
pembaharuan pendidikan yang menyangkut proses pengajaran harus mempertimbangkan
guru dalam arti keikutsertaannya. Pembaharuan yang dirumuskan hanya di tingkat
menteri, Dirjen dan Direktur tanpa melihat realitas kemampuan guru, akan
mengalami hambatan dalam implementasinya. Michael G. Fullan (1991) dalam
bukunya The Neto Meaningof Educational Change berpendapat : educational
change depends on what teacher and think-it, as simple and as complex as that.
Keikutsertaan guru ini bukan berarti hanya dalam konteks fisik atau kualitas.
Namun yang lebih penting ialah keikutsertaan secara mental yang didukung dengan
kemampuan profesional. Oleh karena itu, guru perlu memiliki semacam a common
mission (Louise Stall dan Dean Fank, 1992) pada setiap proses pembaharuan
pendidikan.
Menurut
mereka, agar pembaharuan pendidikan menjadi efektif, guru perlu menyadari
adanya misi umum yang ingin dicaai oleh pembaharuan itu. Indikator terhadap
adanya kesadaran pada common mission suatu pembaharuan menurut Louise Stall dan
Dean Fank ialah :
1. Shared
value and beliefs
2. Clear
goals
3. Instruksional
leadership
Persoalan
melupakan peran guru inilah yangsering terjadi pada sistem pembaharuan sistem pendidikan nasional kita. Para
perencana sering berasumsi bahwa sekali program pembaharuan diploklamirkan,
yang disertai daya paksa dengan Surat Keputusan (SK), pembaharuan itu akan
berjalan dengan sukses besar. Mereka lupa bahwa guru kita memiliki beban
pembaharuan yang amat besar dengan disertai oleh kesejahteraan yang amat minim
ditengah-tengah pola kehidupan yang semakin materialis dan konsumtif.
Karena
beban pekerjaan guru semakin berat, sebagai akibat adanya pembaharuan yang
bertubi-tubi, maka secara fungsional mereka tidak dapat berpartisipasi dengan
maksimal. Akhirnya, pembaharuan yang dimitoskan dapat mendongkrak kualitas
pendidikan seperti CBSA, Pusat Kegiatan Guru (PKG), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), Sanggar Kerja Guru, Unit Produksi, Bimbingan Karier,
Institusi Pasangan, Program Magang, berbagai kegiatan penataran, dsb, tidak
semuanya berjalan mulus sesuai dengan cita-cita semula.
Mengajak
guru untuk melakukan pembaharuan tidak semudah yang dipikirkan oleh para
pengambil kebijakan pendidikan. Guru juga manusia dengan berbagai
keterbatasannya. Apalagi dalam jumlah yang begitu besar, tidak kurang dari 2,5
juta orang guru. Kita dapat membayangkan betapa sulitnya mereka untuk dapat
diajak melakukan pembaharuan dan perubahan dalam pendidikan. Lebih-lebih dalam
setiap pembaharuan dan perubahan itu akan selalu menampilkan pekerjaan mereka.
Itulah
sebabnya, kita patut memperhatikan pendapat Carlos (1965) dalam hal melakukan
difusi inovasi terhadap para guru kita. Jika kita mengaplikasikan teori Carlos
dalam proses pembaharuan pendidikan nasional, sejak awal kita akan memprediksi
siapakan guru sulit atau tidak diajak untuk melakukan pembaharuan. Karena
menurutnya, sebelum seorang guru mengadopsi sebuah pembaharuan, ia akan melihat
karakteristik.
Dalam
bidang CBSA, masih ada 30% guru yang belum melakukannya secara profesional.
Guru yang melakukan peningkatan karir profesi sesuai dengan SK Men Pan No. 026
tentang fungsionalisasi jabatan guru baru 5%. Guru yang melaksanakan bimbingan
karir di sekolah baru 40%. Dari 40% itu, mereka yang melakukan secara konsisten
tidak lebih dari 5% dan masih terdapat 50% guru sekolah kejuruan yang belum
melaksanakan program institusi pasangan.
Jika
dilihat dari jenis sekolahnya, guru STM yang belum melakukan institusi pasangan
masih sebanyak 30%. Adapun guru SMEA sebanyak 75%, dan guru SMKK sebanyak 42%.
Begitu pula pelaksanaan program magang masih tersedat-sedat dan 75% guru STM
belum melaksanakan magang di dunia industri. Melihat bukti empirik di atas,
sekali lagi amat penting kiranya untuk selalu mempertimbangkan faktor guru dari
berbagai aspek kehidupannya dalam melakukan pembaharuan pendidikan nasional.
Guru merupakan kelompok terbesar yang akan ikut menentukan berhasil tidaknya berbagai
bentuk pembaharuan pendidikan kita.
siap bung sama sama ^^
ReplyDelete