Sebulan sudah aku kembali
menjalani rutinitasku menjadi mahasiswa biasa di FKIP UNS, entah kenapa suasana
rindu akan sapaan murid dan hiruk pikuk sekolah yang hanya 3 bulan lamanya
menjadi tempat magang (Program Pendidikan Lapangan/PPL) menggeliat. Rutinitas seperti
alarm dan mandi dipagi hari yang awalnya aku benci, berdandan rapi dan wangi setiap
hari dan persiapan materi di malam hari menjadi hal yang teramat ku rindukan. Rindu
yang sebenarnya bukan rindu, karena jika aku disuruh mengulangi ketiga hal
tersebut dalam rutinitasku sekarang ini akupun juga tak akan mau. Barulah aku
tersadar ternyata bukan itu yang ku rindu, aku hanya rindu menjadi seorang pendidik.
Dimana rindu ku itu mampu mengalahkan benci ku terhadap alarm dan mandi di pagi
hari, mampu menghilangkan rasa tak nyaman ku dalam keadaan selalu rapih dan
wangi.
Banyak sekali hal yang didapat
dalam waktu 3 bulan tersebut. Baru aku tau bahwa ternyata metode dan model yang
dibuat oleh barat dan diajarkan di kampus kampus sangat tidak relevan jika
dibenturkan dengan realitas anak didik di Indonesia, hal ini mungkin bisa
disebut sebagai generalisasi tapi sekolah yang berakreditasi A dan berlabel SSN
yang aku tempati selama sebulan dirasa cukup mewakili realitas rata rata anak
didik di Indonesia. Bahwa diskusi kelompok kecil tidak semudah seperti yang
dikatakan vygostki, jigsaw dan yang lainnya dalam cooporative learning , di
Indonesia di sekolah yang berakreditasi A dan berlabel SSN dominasi siswa masih
sangat terasa, apalagi kelompok dibikin semajemuk mungkin, dan diskusi tidak
akan efektif dikala kelompok tidak majemuk / terjadi hal yang sangat njomplang
dari formulasi kelompok satu dan formulasi kelompok lain.
Kesadaran untuk bersama bekerja
masih belum muncul, yang ada adalah kesadaran untuk mendominasi dan rendah diri
/ takut mengungkapkan pendapat karena dia bersama teman satu kelompok yang lebih
pinter atau lebih dominan daripadanya, alhasil yang dominan lah yang berfikir
yang lain menulis dan yang lain lagi ngobrol. Bahkan dengan penerapan model
pembelajaran seperti ini akan menimbulkan skat skat dan klas klas baru di dalam
kelas. Menurutku masih butuh waktu yang lama untuk menyadarkan para siswa bahwa
diskusi kelompok bukanlah kerja individu yang diatasnamakan kelompok, namun
gagasan tiap individu dirumuskan menjadi satu menjadi gagasan kelompok.
Baru aku tau pula ternyata achievmen/reward
yang dijanjikan oleh slavin dan teman temannya akan menaikkan motivasi belajar
siswa malah menggiring siswa kita menjadi kaum kaum yang matre (dalam definisi
umum). Slavin bilang bahwa siswa akan naik motivasi belajarnya jika ada
achievment atau reward, dan yang terjadi disekolah yang berakreditasi A dan
berlabel SSN adalah ketika aku coba pakai reward, memang benar hampir semua
siswa yang awalnya tidak berantusias menjadi antusias mereka yang biasanya
ramai menjadi memperhatikan, namun dihari selanjutnya ketika tidak ada reward
maka antusias itu akan hilang keaktifan itu akan hilang, bahkan siswa yang
biasanya aktif dengan ikhlas tanpa reward pun menjadi mengharapkan reward.
Justru teori diatas malah merusak
menurutku, bagaimana tidak antusiasme yang timbul ternyata hanya semu keaktifan
yang timbul ternyata hanya semu, mereka tidak benar benar mau antusias belajar
mereka tidak benar benar mau aktif tapi mereka hanya mau reward, dan
berantusias serta aktif adalah jalan untuk mendapatkan reward tersebut. Memang benar
nilai mereka bertambah, memang benar keaktifan mereka bertambah tapi satu hal
yang fatal adalah tujuan belajar mereka berubah, bukan lagi agar faham dan
cerdas tapi hanya sebatas ingin reward, dan aku rasa hal ini akan berefek
panjang.
Baru aku tau ternyata “pendidikan
karakter” yang selama ini digadang gadang oleh pemerintah adalah pendidikan
karakter krupuk, karakter penakut, karakter sombong. Pernah satu hari aku
mencoba menggoda siswa siswiku dengan berpura pura mengadakan ujian dadakan,
apa reaksi mereka? Penolakan besar besaran, kenapa tidak diberitahu dan lain sebagainya.
Mereka gelisah kalau mereka mendapat nilai jelek, mereka merasa hina ketika
mereka terlihat bodoh dan mereka takut kalau mereka tidak bisa seperti biasanya
tersenyum melihat nilai bagusnya. Dan mereka akan sangat senang ketika UAS atau
UTS datang dan mereka memegang kisi kisi, karena ada jaminan materi yang keluar
artinya ada jaminan pula nilai bagus, ada jaminan pula mereka akan tersenyum
ria ketika melihat hasil pekerjaan mereka. Lalu apa yang jadi masalah? Yang jadi
masalah adalah orientasi belajar mereka hanya sebuah nilai, tak beda dengan
reward tadi bukan proses.
Akan sangat wajar seseorang
mendapat nilai bagus ketika ujian dan sudah diberitahu oleh gurunya apalagi
mendapat kisi kisi, namun apakah itu dapat menjadi indikator bahwa pembelajaran
berhasil? Sama sekali tidak, bisa saja mereka pulang lalu belajar semalaman
kepada kakak nya kepada guru les nya atau kepada siapa saja, mereka belajar
lebih dari apa yang di dapat disekolah. Dan nilai bagus adalah menjadi hal yang
wajar karena mereka mempersiapkan nya lebih dari sekedar pembelajaran oleh
guru. Jadi akan menjadi sebuah hal yang sangat tidak fair ketika hal itu
dijadikan patokan keberhasilan seorang guru. Dengan ujian dadakan siswa hanya
akan mengingat ingat apa yang di sampaikan oleh guru, karena tidak ada
persiapan “spesial” lebih selain materi yang diberikan oleh guru. Dalam pengecualian
kalau memang siswa itu adalah siswa yang rajin belajar tanpa perduli ujian atau
tidak, Nah! karakter yang seperti inilah yang menurutku seharusnya ada pada
anak didik di Indonesia, bukan mental tempe bukan mental sistem kebut.
Baru aku tau ternyata sekat sekat
dinding kelas itu membatasi kebahagiaan mereka, membatasi ruang gerak mereka,
membatasi kerjasama mereka. Pernah sesekali aku ajak mereka keluar kelas untuk
belajar materi himpunan (aku guru matematika). Tanpa reward tanpa metode yang
pernah aku dapat di kampus antusias mereka dalam belajar dan melakukan apa yang
guru arahkan bertambah sangat drastis, dengan tugas yang banyak dan mudah
mereka dipaksa membagi bagi tugas dan mempercayakan sebuah misi kepada teman
satu kelompok mereka, dengan begini ternyata kelas dan skat pemisah serta
dominasi antara teman satu kelompok akan terkikis, dengan menaruh mereka
menjadi subjek subjek yang aktif dan memiliki peran ternyata membuat antusias
dan semangat menjalankan misi pun bertambah. Serta rasa ingin lebih dari
kelompok lain membuat kerjasama kelompok dan usaha untuk menjalankan misi
kelompok lebih maksimal. Al hasil nilai dan keaktifan mereka bertambah sangat
drastis, namun sayang nya tidak semua materi bisa didesain dengan model misi
seperti ini, guru haruslah kreatif menempatkan siswa sebagai subjek aktif agar
siswa mampu aktif dan ber antusias tak perduli reward tak perduli teman lain
yang lebih.
Betapa menyenangkannya menjadi
seorang pendidik, pendidik adalah seseorang yang bukan hanya menyampaikan
materi ajar tapi juga mampu menularkan nilai nilai, mampu memahami siswa didik
nya, mampu menyadarkan siswa kita bahwa mereka adalah subjek dari pembelajaran
maupun realitas yang ada, bahwa mereka memiliki peran di lingkungan, bahwa
dominasi tidak lebih berharga dari kerjasama dan saling membantu, bahwa mereka
adalah khalifatu fil ardh dan bahwa mereka adalah generasi generasi yang ditunggu kedatangannya. Bukan hanya sekedar seperti robot yang masuk dan
keluar kelas sesuai bel, namun menjadikan waktu dari bel ke bel itu menjadi
waktu yang bermakna bagi diri kita dan bagi siswa kita. Aku bukanlah pendidik
yang baik, dan baru aku tau ternyata menjadi pendidik yang baik adalah yang aku
rindu dan yang aku inginkan.