0

Setiap muslim wajib menuntut ilmu, seperti apa yang telah Rasul sabdakan “menuntut ilmu wajib bagi muslim laki laki dan muslim perempuan”, Islam sangat menghargai lebih kepada orang yang berilmu seperti yang telah dikupas oleh kawan cimol di kajian hukum beberapa Minggu yang lalu. Di HMI sendiri sebagai organisasi mahasiswa juga tidak melupakan tugasnya sebagai mahasiswa, tertuang di tujuan organisasi ini yakni salah satu tujuannya adalah terbinanya INSAN AKADEMIS, ini menunjukkan bahwa HMI juga mempunyai kepedulian khusus atau bahkan lebih terhadap bidang akademis dalam hal ini pendidikan

Apalagi negara, negara ini (Indonesia) juga sangat peduli dengan pendidikan, terbukti dengan dituliskannya “kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar bagi tiap warga nya” (pasal 31 (2) UUD 1945) , apa lagi dijamin di ayat selanjut nya bahwa kewajiban pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan anggaran minimal 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 (4) UUD 1945). Pendidikan dasar menurut ilmu yang saya dapat adalah sampai SMP, maka dengan pertimbangan dan dasar undang undang tadi pemerintah mencanangkan program wajib belajar 9 tahun.



Kalau kita lihat paragraf di atas, sangat luar biasa sekali Indonesia, dengan APBN sekitar 300 triliun Negara menyumbang lebih dari 60 triliun untuk dana pendidikan, dana yang saya kira cukup untuk membrantas sekitar 7,765 persen penduduk Indonesia yang buta aksara dan menyekolahkan sekitar 11.298.070 anak prasekolah yang belum tertampung dalam lembaga pendidikan pra sekolah, serta menanggulangi sekitar tiga jutaan anak putus sekolah dasar setiap tahunnya.
Tapi seperti yang kita ketahui bersama, bahwa bukan paragraf 2 yang terjadi namun contoh contoh yang saya sebutkan di paragraf 3. Hanya teori ketika negara mewajibkan diri untuk membiaya i pendidikan dasar, pencanangan wajib belajar adalah salah satu bentuk kontradiksi karena seharusnya pemerintah yang mempunyai kewajiban dan masyarakat yang dikasih hak belajar, bukan wajib belajar. Maka dari itu tak heran jika pendidikan di Indonesia belum maju, karena hanya orang yang memiliki uang saja yang bisa mengenyam pendidikan. Apa lagi pendidikan tinggi seperti S1, S2 dan S3 yang sudah terkenal super mahal biayanya. Uang itu seperti indera ke enam, di mana tanpa itu, anda tidak dapat memanfaatkan sepenuhnya lima indera yang lain (Somerset mougham)
Pemerintah telah ingkar dengan janji yang dibuatnya sendiri, seharusnya sekolah serta kuliah itu memang harus murah bahkan gratis, apalagi dengan dukungan undang undang yang saya sebut di awal tadi, di kuba saja sekolah gratis dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, itu bisa terjadi ketika pemerintah dan oknum sekolah mendukung perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Terlihat ada inkonsistensi dari pemerintah, termasuk dalam penerapan sistem pendidikan.
Ketika saya belajar pengantar pendidikan, ada dua sistem pendidikan, yakni sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, sentralisasi adalah pemusatan segala sesuatu ke pemerintah sedang desentralisasi adalah pembebasan terhadap daerah untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai sistem yang dibuatnya sendiri. Nah Indonesia adalah salah satu Negara yang bias menganut keduanya. Sentralisasi dalam kurikulumnya dan desentralisasi untuk pembagian alokasi 20 %

Menarik ketika kita membahas kurikulum, karena sudah setiap berganti menteri kita juga berganti kurikulum, berganti tarif belajar pula. Namun hampir tidak ada hal yang berubah ketika kurikulum diganti selain buku yang tulisan sampulnya ada nama kurikulum paling gress, bahkan banyak orang yang menganalisa bahwa pergantian kurikulum hanyalah proyek pemerintah dengan percetakan saja. Proyek sekolah dengan percetakan LKS dan raport baru saja, yang nantinya akan dijual ke siswa dengan dalih “buku baru nak, sesuai kurikulum paling gress “ miris memang.
Dan akhirnya orang tua siswa yang menjadi korban sistem tersebut, sudah sekolah nya mahal masih diwajibkan membeli buku ini itu pula. Sekolahan juga terjebak dengan system kapitalisasi pendidikan, dimana sekolahan adalah oknum yang terdekat dengan siswa juga ikut andil besar dalam semakin menggila nya tarif sekolah. Banyak sekolah yang bangga dengan label SSN, RSBI, akselerasi yang sudah pasti berharga beda dengan sekolah reot tanpa brand roll tsb. Mereka berkelit dan menjadikan dana alokasi 20 % yang tidak utuh menjadi alas an utama. “di dunia ini tidak ada satu pun hal yang menimpa orang orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara, namun dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara misalnya, kita tidak akan dipaksa membeli dan membaca buku karangan para sipir atau kepala penjara” (bernard show dalam parents and Children)
Sudah saatnya pemerintah serius dalam menyikapi pendidikan ini, karena dengan terbinanya semua putra putri Indonesia dengan sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan produk produk yang berkualitas dan memiliki daya saing pula, saya yakin pemerintah pusat juga tahu kalau dana 20 % yang seharusnya digunakan untuk perkembangan pendidikan itu, tidak sampai sekolahan dengan utuh, karena penyalurannya melalui daerah dan daerah mempunyai otonomi daerah yang memungkinkan pemotongan dan pengurangan dana tersebut.
Tapi hanya di dunia pendidikan yang bisa membuat “kemiskinan” memiliki nilai jual, bagaimana tidak sekarang kalimat “pemberian beasiswa bagi siswa/mahasiswa yang kurang mampu” akan makin menunjukkan betapa sosial nya sekolah tersebut, walau mudah sekali mencari surat keterangan bahwa kita adalah keluarga pra sejahtera saya yakin tak semudah itu untuk mendapatkan beasiswa bagi mereka yang miskin. Karena kata miskin selalu dikaitkan dengan kata berprestasi dan dua kata itu tidak akan bisa dipisahkan
Seharusnya dalam hal ini dinas pendidikan berkaca kepada departemen agama yang menerapkan sentralisasi dalam hal pembagian gaji guru serta pembangunan sekolah, jadi pembangunan dan gaji serta tunjangan guru tidak menjadi monopoli pemerintah daerah, karena banyak sekali sekolahan yang ambrug gara-gara bertahun tahun tidak ada pemeliharaan sama sekali, di Sragen dan kabupaten kabupaten lain yang mungkin sedikit bermasalah dana untuk sertifikasi guru juga tersendat, karena dananya memang melalui pemerintah daerah,
Sampai kapan Indonesia seperti ini?? Sampai kita mau merubahnya 

Post a Comment

 
Top